Bab 16: Negosiasi lebih Sengketa Hukum:
Melindungi Organisasi Anda
Oleh : Sofyan Amarta *
(kajian ini fokus pada negosiasi dalam melindungi organisasi anda)
I. PENGANTAR
Zaman
berubah dengan pesat. Semua bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni, mengalami kemajuan (advancement) yang signifikan. Globalisasi di
era post-modern dan kemajuan teknologi informasi (informatics
technology) ternyata sangat berpengaruh bagi masyarakat, baik secara pribadi
(personal), maupun dalam soal dinamika kelompok.
Seiring
dengan progresivitas tersebut, konflik pun tetap omnipresent. Artinya,
konflik ada di mana saja, kapanpun waktunya, siapapun kita. Dalam organisasi
apapun dimana kita terlibat di dalamnya, pasti bakal berhadapan dengan konflik.
Semakin besar organisasi, semakin rumit pula keadaannya. Semua aspek, akan
mengalami kompleksitas, baik alur informasi, pengambilan keputusan,
pendelegasian wewenang, sumberdaya manusia dan sebagainya.
Dalam interaksi sesama
manusia, konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Ditinjau dari
konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai
ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan
yang kemudian dibantah oleh pihak lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa
telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa
dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi
bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik
Dari
aspek sumber daya manusia (SDM) misalnya, dapat diidentifikasi berbagai
kompleksitas. Contohnya, kompleksitas jabatan, kompleksitas tugas, kompleksitas
tanggung jawab, kompleksitas kedudukan, kompleksitas status, kompleksitas hak,
kompleksitas wewenang dan lain-lain. Kompleksitas ini dapat merupakan sumber
potensial terjadinya konflik. Sebab, setiap manusia yang terlibat dalam
organisasi, memiliki keunikan sendiri-sendiri, berbeda latar belakang, berbeda
karakter, berbeda visi, berbeda tujuan hidup, berbeda motivasi kerja dan
lain-lain.
Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari
komponen-komponen (subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung (interdependence)
satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Kast
dan Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem yang saling tergantung itu adalah tujuan
dan nilai-nilai (goals and values subsystem), teknikal (technical
subsystem), manajerial (managerial subsystem), psikososial (psychosocial
subsystem), dan subsistem struktur (structural subsystem).
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan
subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau
kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja
muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak
faktor yang melatar - belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan,
antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan,
komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan
inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan
kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang
saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.
Namun, sabagaimana dikatakan oleh Gibson, et al.
(1997:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung
dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen
organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling
bekerjasama satu sama lain. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam
setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas
organisasi tersebut. Konflik tersebut
mungkin tidak membawa “kamatian” bagi organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan
kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut dibiarkan
berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena
itu keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan
atau manajer organisasi.
2. 1 Definisi
Konflik
Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli
manajemen. Hal ini tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi
para ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara
maknamakna yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik
dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai,
tujuan, status, dan budaya. Definisi di bawah ini menunjukkan
perbedaan-perbedaan dimaksud.
… the condition of objective
incompatibility between values or goals, as the bahavior of deliberately interfering
with another’s goal achievement, and emotional in terms of hostility (Luthans,
1985:386). (... Kondisi obyektif ketidakcocokan
antara nilai-nilai atau tujuan, sebagai bahavior sengaja mengganggu pencapaian
tujuan lain, dan emosional dalam hal permusuhan (Luthans, 1985:386).)
A process in which an effort is
purposely made by A to offset the efforts of B by some form of blocking that
will result in frustrating B in attaining his or her goals or furthering his or
her interests (Robbins, 1996:428). (Sebuah proses
di mana upaya sengaja dibuat oleh A untuk mengimbangi upaya B dengan beberapa
bentuk blocking yang akan menghasilkan B frustasi dalam mencapai tujuan nya
atau dia atau memajukan kepentingan-nya (Robbins, 1996:428).)
… disagreement between individuals
or groups within the organization stemming from the need to share scarce
resources or engage in interdependent work activities, or from differences in
status, goals, or cultures (Stoner dan Freeman, 1989:391).2 (...
Ketidaksepakatan antara individu atau kelompok dalam organisasi yang berasal
dari kebutuhan untuk berbagi sumber daya yang langka atau terlibat dalam
aktivitas kerja saling bergantung, atau dari perbedaan status, tujuan, atau
budaya (Stoner Dan Freeman, 1989:391) .2)
All kinds of opposition or
antagonistic interaction. It based on scarcity of power, resources or social
position, and differing value systems (Kreitner dan Kinicki,
1995:283). (Semua jenis oposisi atau interaksi antagonis.
Ini didasarkan pada kelangkaan kekuasaan, sumber daya atau posisi sosial, dan
sistem nilai yang berbeda (Kreitner Dan Kinicki, 1995:283).)
Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik
merupakan suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau
perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga
mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat.
Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut Robbin
(1996), ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak
menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara umum
konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan
bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka konflik tersebut menjadi
suatu kenyataan.
2.2 Pandangan
Terhadap Konflik
Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam
kelompok atau organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari
atau dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi.
Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik dikelola
sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi kelompok dan
organisasi. Stoner dan Freeman menyebut konflik tersebut sebagai konflik
organisasional (organizational
conflict).
Pertentangan pendapat ini oleh Robbins (1996:431) disebut
sebagai the Conflict Paradox, yaitu pandangan bahwa di satu sisi
konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, namun di sisi lain
kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisir konflik.Dalam
uraian di bawah ini disajikan beberapa pandangan tentang konflik, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Robbins (1996:429).
a. Pandangan
Tradisional (The Traditional View).
Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk.
Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari.
Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence,
destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan
sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan
1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil disfungsional akibat komunikasi
yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan di antara orang-orang, dan
kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
b.
Pandangan Hubungan Manusia (The
Human Relations View).
Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan
peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik
harus diterima dan dirasionalisasikan
sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.
Pandangan ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai
pertengahan 1970-an.
c.
Pandangan Interaksionis (The
Interactionist View).
Pandangan
ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa
kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis,
apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran
pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga
kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical),
dan kreatif. Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan tentang konflik
menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan
modern (current view).
Perbedaan kedua pandangan tersebut disajikan dalam Tabel
1.1. Dalam
tabel tersebut, kedua cara pandang: tradisional dan modern, dibedakan dalam
lima aspek, yaitu: cara pandang terhadap konflik, faktor penyebab timbulnya
konflik, pengaruh konflik terhadap kinerja, fungsi manajemen, dan bagaimana
perlakuan terhadap konflik untuk mencapai kinerja optimal
2.3 Jenis-jenis
Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada
dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas
dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik, dan sebagainya.
a. Konflik
Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik
menjadi dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan
konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik fungsional
adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki
kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang
merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu
konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik
mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok
yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi
tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik
fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja
kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan
kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik
tersebutdikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya
memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik
tersebut disfungsional.
b. Konflik
Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik,
Stoner dan Freeman (1989:393) membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
1)
Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan
yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas
kemampuannya.
2) Konflik antar-individu (conflict among individuals).
Terjadi karena perbedaan kepribadian (personality differences) antara
individu yang satu dengan individu yang lain.
3) Konflik
antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan
norma - norma kelompok tempat ia bekerja.
4) Konflik antar
kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same
organization). Konflik ini terjadi karena masing - masing kelompok memiliki
tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5) Konflik antar organisasi (conflict among
organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh
organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam
perebutan sumberdaya yang sama.
6) Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict
among individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai
akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif
bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public
relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang
jurnalis.
c. Konflik
Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat macam,
dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara
karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya,
antara atasan dan bawahan.
2) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara
mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi.
Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara
karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang
biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4) Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena
seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di samping
klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain, misalnya yang
dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1982), yang
membagi konflik atas: substantive conflict, emotional conflict, constructive
conflict, dan destructive conflict.
II. FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB TIMBULNYA KONFLIK
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi
yang melatar - belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut,
yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga
ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi.
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman
antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil
penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang
tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang
terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur.
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran
(kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok,
kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan
tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan
antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat
spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar
kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula
kemungkinan terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor
pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu,
karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies)
dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe
kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan
menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika
salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan
menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok
terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived
conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka
merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik
berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya,
konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah
menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam
bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain,
serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.
Robbins (1996), menggambarkan tahap-tahap lahirnya
konflik, sebagaimana yang diterangkan di atas, melalui gambar sebagaimana yang
disajikan di bawah ini (gambar 1).
Proses timbulnya konflik, sebagaimana yang digambarkan oleh
Robbins, mirip dengan tahap-tahap konflik yang digambarkan oleh Schermerhorn, et
al. (1982:461), seperti yang disajikan di bawah ini (gambar 2)
Berbeda dengan Robbins yang hanya menyebut tiga factor
dalam antecedent conditions, Schermerhorn, et al. merinci antecedent
conditions menjadi lima faktor, yaitu: (1) ketidakjelasan peranan atau
peranan yang mendua (role ambiguities); (2) persaingan untuk mendapatkan
sumberdaya yang terbatas; (3) rintangan-rintangan dalam komunikasi (communication
barriers); (4) konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan; dan (5)
perbedaan-perbedaan individual, yang mencakup: perbedaan kebutuhan,
nilai-nilai, dan perbedaan tujuan.
Gambar
1: Proses Lahirnya Konflik
Gambar
2: Tahap-tahap Konflik
Selanjutnya,
Kreitner dan Kinicki (1995:284-285) merinci lagi antecedent conditions itu
menjadi 12 faktor sebagai berikut:
1.
ketidakcocokan
kepribadian atau sistem nilai;
2.
batas-batas
pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih;
3.
persaingan
untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas;
4.
pertukaran
informasi atau komunikasi yang tidak cukup (inadequate communication);
5.
kesalingtergantungan
dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya
tanpa bantuan orang lain);
6.
kompleksitas
organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan dengan semakin meningkatnya
susunan hierarki dan spesialisasi pekerjaan);
7.
peraturan-peratuan,
standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas atau tidak masuk akal;
8.
batas
waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga sulit dipenuhi (unreasonable
deadlines);
9.
pengambilan
keputusan secara kolektif (semakin banyak orang yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan, semakin potensial untuk konflik);
10.
pengambilan
keputusan melalui konsensus;
11.
harapan-harapan
yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki harapan yang tidak realistik
terhadap pekerjaan, upah, atau promosi, akan lebih mudah untuk konflik);
12.
tidak
menyelesaikan atau menyembunyikan konflik.
Menurut Kreitner dan Kinicki (1995), manajer atau
pimpinan organisasi harus proaktif untuk mengidentifikasikan keberadaan kondisi
- kondisi tersebut dalam organisasinya, dan jika salah satu atau lebih dari
kondisi itu muncul, maka ia harus segera mengambil tindakan, sebelum kondisi
itu menjadi konflik terbuka atau konflik yang nyata (manifest conflict).
Dengan cara seperti ini, diharapkan konflik tidak meluas ke seluruh organisasi
dan akhirnya mempengaruhi kinerja karyawan. Untuk itulah maka manajer harus
memiliki kemampuan untuk mengelola konflik, sehingga konflik tidak menjadi
faktor yang mengancam keberlangsungan hidup organisasi, tetapi menjadi faktor
yang fungsional untuk meningkatkan kinerja organisasi.
Bab 16: Negosiasi lebih Sengketa Hukum:
Melindungi Organisasi Anda
Oleh : Sofyan Amarta *
(kajian ini fokus pada negosiasi dalam melindungi organisasi anda)
I. PENGANTAR
Zaman
berubah dengan pesat. Semua bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni, mengalami kemajuan (advancement) yang signifikan. Globalisasi di
era post-modern dan kemajuan teknologi informasi (informatics
technology) ternyata sangat berpengaruh bagi masyarakat, baik secara pribadi
(personal), maupun dalam soal dinamika kelompok.
Seiring
dengan progresivitas tersebut, konflik pun tetap omnipresent. Artinya,
konflik ada di mana saja, kapanpun waktunya, siapapun kita. Dalam organisasi
apapun dimana kita terlibat di dalamnya, pasti bakal berhadapan dengan konflik.
Semakin besar organisasi, semakin rumit pula keadaannya. Semua aspek, akan
mengalami kompleksitas, baik alur informasi, pengambilan keputusan,
pendelegasian wewenang, sumberdaya manusia dan sebagainya.
Dalam interaksi sesama
manusia, konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Ditinjau dari
konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai
ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan
yang kemudian dibantah oleh pihak lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa
telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa
dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi
bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik
Dari
aspek sumber daya manusia (SDM) misalnya, dapat diidentifikasi berbagai
kompleksitas. Contohnya, kompleksitas jabatan, kompleksitas tugas, kompleksitas
tanggung jawab, kompleksitas kedudukan, kompleksitas status, kompleksitas hak,
kompleksitas wewenang dan lain-lain. Kompleksitas ini dapat merupakan sumber
potensial terjadinya konflik. Sebab, setiap manusia yang terlibat dalam
organisasi, memiliki keunikan sendiri-sendiri, berbeda latar belakang, berbeda
karakter, berbeda visi, berbeda tujuan hidup, berbeda motivasi kerja dan
lain-lain.
Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari
komponen-komponen (subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung (interdependence)
satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Kast
dan Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem yang saling tergantung itu adalah tujuan
dan nilai-nilai (goals and values subsystem), teknikal (technical
subsystem), manajerial (managerial subsystem), psikososial (psychosocial
subsystem), dan subsistem struktur (structural subsystem).
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan
subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau
kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja
muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak
faktor yang melatar - belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan,
antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan,
komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan
inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan
kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang
saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.
Namun, sabagaimana dikatakan oleh Gibson, et al.
(1997:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung
dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen
organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling
bekerjasama satu sama lain. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam
setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas
organisasi tersebut. Konflik tersebut
mungkin tidak membawa “kamatian” bagi organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan
kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut dibiarkan
berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena
itu keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan
atau manajer organisasi.
2. 1 Definisi
Konflik
Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli
manajemen. Hal ini tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi
para ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara
maknamakna yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik
dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai,
tujuan, status, dan budaya. Definisi di bawah ini menunjukkan
perbedaan-perbedaan dimaksud.
… the condition of objective
incompatibility between values or goals, as the bahavior of deliberately interfering
with another’s goal achievement, and emotional in terms of hostility (Luthans,
1985:386). (... Kondisi obyektif ketidakcocokan
antara nilai-nilai atau tujuan, sebagai bahavior sengaja mengganggu pencapaian
tujuan lain, dan emosional dalam hal permusuhan (Luthans, 1985:386).)
A process in which an effort is
purposely made by A to offset the efforts of B by some form of blocking that
will result in frustrating B in attaining his or her goals or furthering his or
her interests (Robbins, 1996:428). (Sebuah proses
di mana upaya sengaja dibuat oleh A untuk mengimbangi upaya B dengan beberapa
bentuk blocking yang akan menghasilkan B frustasi dalam mencapai tujuan nya
atau dia atau memajukan kepentingan-nya (Robbins, 1996:428).)
… disagreement between individuals
or groups within the organization stemming from the need to share scarce
resources or engage in interdependent work activities, or from differences in
status, goals, or cultures (Stoner dan Freeman, 1989:391).2 (...
Ketidaksepakatan antara individu atau kelompok dalam organisasi yang berasal
dari kebutuhan untuk berbagi sumber daya yang langka atau terlibat dalam
aktivitas kerja saling bergantung, atau dari perbedaan status, tujuan, atau
budaya (Stoner Dan Freeman, 1989:391) .2)
All kinds of opposition or
antagonistic interaction. It based on scarcity of power, resources or social
position, and differing value systems (Kreitner dan Kinicki,
1995:283). (Semua jenis oposisi atau interaksi antagonis.
Ini didasarkan pada kelangkaan kekuasaan, sumber daya atau posisi sosial, dan
sistem nilai yang berbeda (Kreitner Dan Kinicki, 1995:283).)
Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik
merupakan suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau
perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga
mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat.
Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut Robbin
(1996), ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak
menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara umum
konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan
bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka konflik tersebut menjadi
suatu kenyataan.
2.2 Pandangan
Terhadap Konflik
Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam
kelompok atau organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari
atau dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi.
Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik dikelola
sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi kelompok dan
organisasi. Stoner dan Freeman menyebut konflik tersebut sebagai konflik
organisasional (organizational
conflict).
Pertentangan pendapat ini oleh Robbins (1996:431) disebut
sebagai the Conflict Paradox, yaitu pandangan bahwa di satu sisi
konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, namun di sisi lain
kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisir konflik.Dalam
uraian di bawah ini disajikan beberapa pandangan tentang konflik, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Robbins (1996:429).
a. Pandangan
Tradisional (The Traditional View).
Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk.
Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari.
Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence,
destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan
sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan
1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil disfungsional akibat komunikasi
yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan di antara orang-orang, dan
kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
b.
Pandangan Hubungan Manusia (The
Human Relations View).
Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan
peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik
harus diterima dan dirasionalisasikan
sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.
Pandangan ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai
pertengahan 1970-an.
c.
Pandangan Interaksionis (The
Interactionist View).
Pandangan
ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa
kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis,
apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran
pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga
kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical),
dan kreatif. Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan tentang konflik
menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan
modern (current view).
Perbedaan kedua pandangan tersebut disajikan dalam Tabel
1.1. Dalam
tabel tersebut, kedua cara pandang: tradisional dan modern, dibedakan dalam
lima aspek, yaitu: cara pandang terhadap konflik, faktor penyebab timbulnya
konflik, pengaruh konflik terhadap kinerja, fungsi manajemen, dan bagaimana
perlakuan terhadap konflik untuk mencapai kinerja optimal
2.3 Jenis-jenis
Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada
dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas
dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik, dan sebagainya.
a. Konflik
Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik
menjadi dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan
konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik fungsional
adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki
kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang
merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu
konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik
mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok
yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi
tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik
fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja
kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan
kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik
tersebutdikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya
memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik
tersebut disfungsional.
b. Konflik
Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik,
Stoner dan Freeman (1989:393) membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
1)
Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan
yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas
kemampuannya.
2) Konflik antar-individu (conflict among individuals).
Terjadi karena perbedaan kepribadian (personality differences) antara
individu yang satu dengan individu yang lain.
3) Konflik
antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan
norma - norma kelompok tempat ia bekerja.
4) Konflik antar
kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same
organization). Konflik ini terjadi karena masing - masing kelompok memiliki
tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5) Konflik antar organisasi (conflict among
organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh
organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam
perebutan sumberdaya yang sama.
6) Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict
among individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai
akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif
bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public
relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang
jurnalis.
c. Konflik
Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat macam,
dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara
karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya,
antara atasan dan bawahan.
2) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara
mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi.
Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara
karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang
biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4) Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena
seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di samping
klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain, misalnya yang
dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1982), yang
membagi konflik atas: substantive conflict, emotional conflict, constructive
conflict, dan destructive conflict.
II. FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB TIMBULNYA KONFLIK
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi
yang melatar - belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut,
yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga
ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi.
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman
antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil
penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang
tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang
terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur.
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran
(kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok,
kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan
tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan
antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat
spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar
kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula
kemungkinan terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor
pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu,
karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies)
dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe
kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan
menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika
salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan
menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok
terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived
conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka
merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik
berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya,
konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah
menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam
bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain,
serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.
Robbins (1996), menggambarkan tahap-tahap lahirnya
konflik, sebagaimana yang diterangkan di atas, melalui gambar sebagaimana yang
disajikan di bawah ini (gambar 1).
Proses timbulnya konflik, sebagaimana yang digambarkan oleh
Robbins, mirip dengan tahap-tahap konflik yang digambarkan oleh Schermerhorn, et
al. (1982:461), seperti yang disajikan di bawah ini (gambar 2)
Berbeda dengan Robbins yang hanya menyebut tiga factor
dalam antecedent conditions, Schermerhorn, et al. merinci antecedent
conditions menjadi lima faktor, yaitu: (1) ketidakjelasan peranan atau
peranan yang mendua (role ambiguities); (2) persaingan untuk mendapatkan
sumberdaya yang terbatas; (3) rintangan-rintangan dalam komunikasi (communication
barriers); (4) konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan; dan (5)
perbedaan-perbedaan individual, yang mencakup: perbedaan kebutuhan,
nilai-nilai, dan perbedaan tujuan.
Gambar
1: Proses Lahirnya Konflik
Gambar
2: Tahap-tahap Konflik
Selanjutnya,
Kreitner dan Kinicki (1995:284-285) merinci lagi antecedent conditions itu
menjadi 12 faktor sebagai berikut:
1.
ketidakcocokan
kepribadian atau sistem nilai;
2.
batas-batas
pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih;
3.
persaingan
untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas;
4.
pertukaran
informasi atau komunikasi yang tidak cukup (inadequate communication);
5.
kesalingtergantungan
dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya
tanpa bantuan orang lain);
6.
kompleksitas
organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan dengan semakin meningkatnya
susunan hierarki dan spesialisasi pekerjaan);
7.
peraturan-peratuan,
standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas atau tidak masuk akal;
8.
batas
waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga sulit dipenuhi (unreasonable
deadlines);
9.
pengambilan
keputusan secara kolektif (semakin banyak orang yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan, semakin potensial untuk konflik);
10.
pengambilan
keputusan melalui konsensus;
11.
harapan-harapan
yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki harapan yang tidak realistik
terhadap pekerjaan, upah, atau promosi, akan lebih mudah untuk konflik);
12.
tidak
menyelesaikan atau menyembunyikan konflik.
Menurut Kreitner dan Kinicki (1995), manajer atau
pimpinan organisasi harus proaktif untuk mengidentifikasikan keberadaan kondisi
- kondisi tersebut dalam organisasinya, dan jika salah satu atau lebih dari
kondisi itu muncul, maka ia harus segera mengambil tindakan, sebelum kondisi
itu menjadi konflik terbuka atau konflik yang nyata (manifest conflict).
Dengan cara seperti ini, diharapkan konflik tidak meluas ke seluruh organisasi
dan akhirnya mempengaruhi kinerja karyawan. Untuk itulah maka manajer harus
memiliki kemampuan untuk mengelola konflik, sehingga konflik tidak menjadi
faktor yang mengancam keberlangsungan hidup organisasi, tetapi menjadi faktor
yang fungsional untuk meningkatkan kinerja organisasi.
0 komentar: