Latest Posts


Chapter 5: Four Key Concepts: Your Starting Points

by. SOFYAN AMARTA

Empat konsep kunci dalam bab ini menurut Roy J. Lewicki, Bruce Barry, David M. Saunders
Dalam buku “ the essential of negotiation” antara lain adalah :
      1.            Negosiasi distributif mengklaim nilai (distributive negotiation claiming value)
      2.            Integratif negosiasi: menciptakan dan mengklaim nilai (integrative negotiation : creating and claiming value)
      3.            Negosiator yang dilema: menentukan pendekatan untuk mengambil (the negotiator's dilemma : determining which approach to take)
      4.            Multifase dan multipartai negosiasi (multiphase and multiparty negotiations)

Four Key Concepts: Your Starting Points ( Analisis The Essential Of Negotiation)



Chapter 5: Four Key Concepts: Your Starting Points

by. SOFYAN AMARTA

Empat konsep kunci dalam bab ini menurut Roy J. Lewicki, Bruce Barry, David M. Saunders
Dalam buku “ the essential of negotiation” antara lain adalah :
      1.            Negosiasi distributif mengklaim nilai (distributive negotiation claiming value)
      2.            Integratif negosiasi: menciptakan dan mengklaim nilai (integrative negotiation : creating and claiming value)
      3.            Negosiator yang dilema: menentukan pendekatan untuk mengambil (the negotiator's dilemma : determining which approach to take)
      4.            Multifase dan multipartai negosiasi (multiphase and multiparty negotiations)

0 komentar:



MENGELOLA KONFLIK DALAM ORGANISASI
Para manajer menghabiskan banyak waktu dan energi untuk menangani konflik. Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, karena setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan konflik. Sebagaimana saat ini, dalam rangka otonomi daerah, banyak sekali perubahan institusional yang terjadi, yang tidak saja berdampak pada perubahan struktur dan personalia, tetapi juga berdampak pada terciptanya hubungan pribadi dan organisasional yang berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu, jika konflik tidak ditangani secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu keseimbangan  sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara orang-orang yang terlibat. Menurut Gibson, et al. (1997), kegagalan dalam menangani konflik dapat mengarah pada akibat yang mencelakakan. Konflik dapat menghancurkan organisasi melalui penciptaan dinding pemisah di antara rekan sekerja, menghasilkan kinerja yang buruk, dan bahkan pengunduran diri.
Para manajer organisasi publik harus menyadari bahwa karena konflik disebabkan oleh faktor-faktor yang berlainan, maka model yang digunakan dalam pengelolaan konflik juga berlainan, tergantung keadaan. Memilih sebuah model pemecahan konflik yang cocok tergantung pada beberapa faktor, termasuk alasan mengapa konflik terjadi, dan hubungan khusus antara pimpinan dengan pihak yang terlibat konflik. Menurut Greenhalgh (1999), efektivitas pimpinan organisasi dalam menangani konflik tergantung pada seberapa baik mereka memahami dinamika dasar dari konflik, dan apakah mereka dapat mengenali hal-hal penting yang terdapat dalam konflik tersebut.
3.1 Model Diagnosis Konflik Pandangan Kontinum dari Leonard Greenhalgh
Menurut Greenhalgh (1999:391), konflik bukanlah suatu fenomena yang obyektif dan nyata, tetapi ia ada dalam benak orang-orang yang terlibat dalam konflik tersebut. Karena itu untuk menangani konflik, seseorang perlu bersikap empati, yaitu memahami keadaan sebagaimana yang dilihat oleh para pelaku penting yang terlibat konflik. Unsur yang penting dalam manajemen konflik adalah persuasi, dan inilah bentuk penyelesaian konflik yang selalu ditekankan oleh Greenhalgh dalam model kontinumnya.
 Masalah-masalah yang dipertanyakan. Jika masalah yang menjadi sumber konflik adalah masalah prinsip, maka konflik sulit dipecahkan, karena mengrobankan prinsip dipandang sebagai mengorbankan integritas pribadi. Begitu masalah-masalah prinsip dikaitkan, pihak-pihak yang terlibat mencoba berargumentasi bahwa sudut pandang pihak lain salah. Jika hal sepeti ini terjadi, maka bentuk intervensi yang dapat dilakukan adalah meminta semua pihak untuk mengakui bahwa mereka memahami pandangan satu sama lain, walaupun masih percaya dengan pandangannya sendiri. Cara seperti ini lebih memungkinkan semua pihak untuk meju dalam proses negosiasi, daripada tetap pada posisi masing-masing.
Ukuran taruhan. Semakin besar nilai yang dipertaruhkan dalam perdebatan, semakin sulit konflik dipecahkan. Misalnya, kebijakan akuisisi yang oleh manajer dianggap membahayakan kedudukannya. Manajer yang berpikir subyektif akan memandang taruhannya cukup tinggi, karena itu akan berusaha mati-matian menentang proses akuisisi tersebut. Dalam kasus ini pendekatan persuasif dengan cara menunda penyelesaian, hingga semua pihak menjadi kurang emosianal, sangat baik untuk dilakukan. Selama masa penundaan tersebut masing-masing pihak dapat mengevaluasi kembali masalah yang dipertaruhkan dan berusaha untuk mencoba bersikap obyektif dalam penilaian mereka.
Saling ketergantungan pihak-pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu konflik dapat memandang diri mereka sendiri dalam suatu rangkaian saling ketergantungan “berjumlah nol” hingga “berjumlah positif”. Saling ketergantungan berjumlah nol adalah persepsi bahwa jika suatu pihak memperoleh sesuatu dari proses interaksi, maka hal tersebut berarti pengorbanan bagi pihak lain. Saling ketergantungan bernilai positif, jika kedua belah pihak sama-sama merasakan memperoleh keuntungan dari proses interaksi. Suatu hubungan berjumlah nol membuat konflik sulit dipecahkan karena hubungan ini memusatkan perhatian secara sempit pada perolehan pribadi, dan bukan pada perolehan kedua belah pihak melalui kerjasama dan pemecahan masalah. Jika hal yang demikian ini terjadi, maka kedua belah pihak harus dibujuk untuk mempertimbangkan bagaimana mereka dapat saling memperoleh manfaat dari suatu situasi.
Kontinuitas interaksi. Dimensi kontinuitas interaksi berhubungan dengan horizon waktu dimana semua pihak melihat diri mereka sendiri berhubungan satu sama lain. Jika mereka memvisualisasikan interaksi yang terjadi sebagai interaksi jangka panjang atau suatu hubungan yang terus menerus, maka konflik yang terjadi akan lebih mudah diselesaikan. Sebaliknya jika transaksi dipandang sebagai hubungan jangka pendek atau hubungan episodic, maka konflik tersebut akan sulit dipecahkan. Karena itu, pihak-pihak yang terlibat harus dibujuk agar mau menyadari bahwa hubungan mereka tidak berhenti di sini saja, atau pada saat konflik terjadi, tetapi akan ada hubungan lain yang terus menerus di masa yang akan datang.
Struktur pihak-pihak yang terlibat. Konflik lebih mudah dipecahkan jika suatu pihak mempunyai seorang pemimpin yang kuat yang dapat menyatukan pengikutnya untuk menerima dan melaksanakan kesepakatan. Jika kepemimpinannya lemah, maka sub-sub kelompok serikat pekerja yang paling merasa berkewajiban untuk mematuhi semua kesepakatan akan melakukan protes tanpa memperhatikan apa yang telah disepakati oleh pemimpin mereka, dan karena itu konflik sulit dipecahkan. Serikat pekerja yang dipimpin oleh pemimpin yang kuat mungkin menyulitkan dalam perundingan, tetapi begitu kesepakatan dicapai maka hasil perundingan tersebut dihormati oleh anggota serikat pekerja. Jika serikat pekerja yang dipimpin oleh pemimpin yang lemah terlibat dalam konflik, maka hasil yang telah disepakati mungkin akan dirusak oleh orang-orang dari dalam serikat pekerja tersebut, yang mungkin tidak menyukai sebagian isi kesepakatan. Hasilnya mungkin dapat berupa pertentangan yang kronis terhadap perubahan atau bahkan melakukan pemogokan.
Keterlibatan pihak ketiga. Orang-orang cenderung akan terlibat secara emosional dalam konflik. Keterlibatan yang demikian dapat menimbulkan beberapa pengaruh, antara lain: persepsi bias menjadi rusak, proses pemikiran dan argumentasi yang tidak rasional muncul, menghasilkan pendirian yang tidak beralasan, kemunikasi rusak, dan serangan-serangan terhadap pribadi muncul. Pengaruh-pengaruh seperti ini menyebabkan konflik menjadi sulit dipecahkan. Menghadapi situasi seperti ini peranan pihak ketiga yang netral sangat diperlukan. Pihak ketiga yang netral akan lebih bisa diterima oleh pihak-pihak yang terlibat, karena mereka lebih menyukai evaluasi pihak lain daripada dievaluasi pihak lawan. Semakin berwibawa, berkuasa, dipercaya, dan netral pihak ketiga, semakin besar kemungkinan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menahan emosi.
Peranan yang dimainkan oleh pihak ketiga dapat berwujud bermacam-macam bentuk, mulai dari wasit yang mengawasi komunikasi, sampai sebagai penghubung semua pihak, jika komunikasi langsung sulit dilakukan. Peranan penengah pada dasarnya adalahi menjaga agar semua pihak berinteraksi dalam cara yang beralasan dan konstruktif. Meskipun demikian, biasanya sebagian besar manajer enggan untuk mengundang pihak luar sebagai penengah, karena sangat sulit bagi mereka untuk mengakui secara terbuka bahwa mereka terlibat dalam konflik yangs edang terjadi. Jika para manajer tetap terlibat dalam penyelesaian konflik, maka kedudukan mereka lebih sebagai seorang arbiter, yang memutuskan sesuatu setelah mendengar laporan dari pihak -  pihak yang terlibat. Namun dalam kebanyakan konflik, peranan penengah lebih disukai, karena semua pihak dibantu untuk mencapai kesepakatan. Sedangkan arbitrasi lebih menyerupai proses pengadilan dimana semua pihak membuat alasan sebaik mungkin untuk mendukung posisi mereka. Hal ini cenderung untuk memperkuat perbedaan, dan bukannya menyatukan perbedaan yang ada.
Kemajuan konflik. Sulit mengatasi konflik jika semua pihak yang terlibat tidak siap untuk suatu rekonsiliasi. Jika masing-masing pihak merasa bahwa diri mereka paling dirugikan, maka konflik sulit dipecahkan. Karena itu, hal penting yang harus dilakukan adalah membujuk pihak - pihak yang terlibat agar menyadari bahwa mereka sama-sama menderita akibat konflik. Pihak-pihak yang terlibat harus dibawa pada “posisi yang sama”, sehingga mau secara sukarela berpartisipasi dalam penyelesaian konflik yang terjadi.

3.2 Lima Gaya Penanganan Konflik (Five Conflict-Handling Styles) dari Kreitner dan Kinicki
Model ini ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi. Dalam model ini digambarkan lima gaya penanganan konflik yang berbeda yang disajikan dalam bentuk tabel 2x2. Pada sumbu vertikal menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang lain (concern for others), dan pada sumbu horizontal menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu: integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.

 Integrating (Problem Solving). Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah.
Obliging (Smoothing). Sesuai dengan posisinya dalam gambar di atas, seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing (melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.
Dominating (Forcing). Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.
Avoiding. Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah - malasah yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
Compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak yang terlibat.Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.
Model-model di atas sudah barang tentu hanya merupakan sebagain saja dari banyak model yang dapat dipilih dalam manajemen konflik. Model apapun yang dipilih akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain: (1) latar belakang terjadinya konflik; (2) kategori pihak-pihak yang terlibat dalam konflik: apakah antar-individu, individu dengan kelompok, atau antar-kelompok dalam organisasi; (3) kompleksitas masalah yang akan dipecahkan; dan (4) kompleksitas organisasi.
Model - model Manajemen konflik akan bermuara pada  bagaimana mengusahakan agar konflik berada pada situasi optimal, sehingga konflik tersebut dapat mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya ketegangan, dan memprakarsai benih-benih untuk perubahan.
Robbins menjelaskan bahwa konflik itu baik bagi organisasi jika: (1) konflik merupakan suatu alat untuk menimbulkan perubahan; (2) konflik mempermudah terjadinya keterpaduan (cohesiveness) kelompok; (3) konflik dapat memperbaiki keefektifan kelompok dan organisasi; dan (4) konflik menimbulkan tingkat ketegangan yang sedikit lebih tinggi dan lebih konstruktif. Tingkat konflik yang tidak memadai (terlalu rendah) atau terlalu berlebihan (konflik tinggi) dapat merintangi keefektifan organisasi untuk mencapai kualitas pelayanan publik yang tinggi.
Kedua situasi ektrim ini dapat memunculkan sikap-sikap aparat yang apatis, absenteisme tinggi, bekerja seadanya, tidak empatik terhadap pengguna jasa, dan sebagainya; yang pada akhirnya akan memperendah kualitas pelayanan mereka kepada publik. Untuk itulah diperlukan suatu keahlian untuk mengelola konflik dari setiap pimpinan organisasi publik. Penggunaan berbagai teknik pemecahan dan motivasi untuk mencapai tingkat konflik yang diinginkan disebut sebagai manajemen konflik. 
4.1. Model Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Organisasi
1). Negosiasi
Negosiasi merupakan metode dalam proses penyelesaian sengketa yang bersifat non yudisial. Negosiasi merupakan hubungan tawar menawar di antara para pihak yang bersengketa dalam satu jalinan hubungan yang bersifat suka rela dan sementara untuk saling menjelaskan posisi,kebutuhan dan kepentingan masing-masing serta melakukan pertukaran sumber-sumber daya khusus atau perjanjian yang dapat menyelesaikan sebagian sengketa atau keseluruhan sengketa.
Negosiasi merupakan teknik penyelesaian sengketa yang paling tradisional dan paling sederhana. Teknik negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga, hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Perbedaan persepsi yang dimiliki oleh kedua belah pihak akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas inti persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan. Karena itu, dalam salah satu pihak bersikap menolak kemungkinan negosiasi sebagai salah satu cara penyelesaian akan mengalami jalan buntu.

2). Mediasi dan jasa-jasa baik (Mediation and good offices)
Mediasi merupakan bentuk lain dari negosiasi, sedangkan yang membedakannya adalah keterlibatan pihak ketiga. Pihak ketiga hanya bertindak sebagai pelaku mediasi (mediator), komunikasi bagi pihak ketiga disebut good offices. Seorang mediator merupakan pihak ketiga yang memiliki peran aktif untuk mencari solusi yang tepat guna melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai. Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh pihak yang bersengketa.
Perbedaan antara jasa-jasa baik dan mediasi adalah persoalan tingkat. Kasus jasa-jasa baik, pihak ketiga menawarkan jasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mengusulkan (dalam bentuk syarat umum) dilakukannya penyelesaian, tanpa secara nyata ikut serta dalam negosiasi-negosiasi atau melakukan suatu penyelidikan secara seksama atas beberapa aspek dari sengketa tersebut. Mediasi, sebaliknya pihak yang melakukan mediasi memiliki suatu peran yang lebih aktif dan ikut serta dalam negosiasi-negosiasi serta mengarahkan pihak-pihak yang bersengketa sedemikian rupa sehingga jalan penyelesaiannya dapat tercapai, meskipun usulan-usulan yang diajukannya tidak berlaku terhadap para pihak.
3). Konsiliasi (Conciliation)
Menurut the Institute of International Law melalui the Regulations the Procedur of International Conciliation yang diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 disebutkan sebagai suatu metode penyelesaian pertikaian bersifat internasional dalam suatu komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik sifatnya permanen atau sementara berkaitan dengan proses penyelesaian pertikaian. Istilah konsiliasi (conciliation) mempunyai arti yang luas dan sempit. Pengertian luas konsiliasi mencakup berbagai ragam metode di mana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasehat yang tidak berpihak. Pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa kepada sebuah komite untuk membuat laporan beserta usul-usul kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut.
Menurut Shaw, laporan dari konsiliasi hanya sebagai proposal atau permintaan dan bukan merupakan konstitusi yang sifatnya mengikat. Proses konsiliasi pada umumnya diberikan kepada sebuah komisi yang terdiri dari beberapa orang anggota, tapi terdapat juga yang hanya dilakukan oleh seorang konsiliator.
4). Penyelidikan (Inquiry)
Metode penyelidikan digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan cara mendirikan sebuah komisi atau badan untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang bersifat internasional, yang relevan dengan permasalahan. Dengan dasar bukti-bukti dan permasalahan yang timbul, badan ini akan dapat mengeluarkan sebuah fakta yang disertai dengan penyelesaiannya. Tujuan dari penyelidikan ini adalah membuat rekomendasi-rekomendasi yang spesifik untuk menetapkan fakta yang mungkin diselesaikan dengan cara memperlancar suatu penyelesaian yang dirundingkan.
5. KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan diatas, penulis menyimpulkan bahwa sering kita temukan dalam setiap organisasi tentang adanya sikap pro dan kontra dalam memandang konflik. Ada pimpinan yang memandang sengketa/ konflik secara negatif dan mencoba untuk menghilangkan segala jenis konflik yang ada. Para pimpinan ini bersikeras bahwa konflik akan memecah-belah organisasi dan menghambat terciptanya kinerja yang optimal. Konflik memberikan indikasi tentang adanya suatu ketidakberesan dalam organisasi, dan adanya prinsip-prinsip atau aturanaturan yang tidak dilaksanakan dengan baik.
Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen (subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung (interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini juga di perjelas dalam Dalam Undang-undang No.30 tahun 1999 penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan cara pertemuan langsung oleh para pihak( negosiasi) diberikan kerangka waktu paling lama 14 hari dan hasilkan dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis (perjanjian damai) Pasal 6 ayat (2).
SARAN
Disadari bahwa memang masih jauh dari kesempurnaan terkait dengan penulisan dan penjelasan tentang bab diatas, oleh karenanya, saya mengharap bagi para pembaca, khsusnya dosen kami “ ibu ela” dapat memberi masukan yang berarti, guna unuk memperbaiki kualiatas penulisan berikutnya. Untuk saran dan kriikan dapat melalui email saya di (sofyanamarta@gmail.com).

MENGELOLA KONFLIK DALAM ORGANISASI dan ALTERNATIF PENYELESAINNYA.



MENGELOLA KONFLIK DALAM ORGANISASI
Para manajer menghabiskan banyak waktu dan energi untuk menangani konflik. Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, karena setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan konflik. Sebagaimana saat ini, dalam rangka otonomi daerah, banyak sekali perubahan institusional yang terjadi, yang tidak saja berdampak pada perubahan struktur dan personalia, tetapi juga berdampak pada terciptanya hubungan pribadi dan organisasional yang berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu, jika konflik tidak ditangani secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu keseimbangan  sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara orang-orang yang terlibat. Menurut Gibson, et al. (1997), kegagalan dalam menangani konflik dapat mengarah pada akibat yang mencelakakan. Konflik dapat menghancurkan organisasi melalui penciptaan dinding pemisah di antara rekan sekerja, menghasilkan kinerja yang buruk, dan bahkan pengunduran diri.
Para manajer organisasi publik harus menyadari bahwa karena konflik disebabkan oleh faktor-faktor yang berlainan, maka model yang digunakan dalam pengelolaan konflik juga berlainan, tergantung keadaan. Memilih sebuah model pemecahan konflik yang cocok tergantung pada beberapa faktor, termasuk alasan mengapa konflik terjadi, dan hubungan khusus antara pimpinan dengan pihak yang terlibat konflik. Menurut Greenhalgh (1999), efektivitas pimpinan organisasi dalam menangani konflik tergantung pada seberapa baik mereka memahami dinamika dasar dari konflik, dan apakah mereka dapat mengenali hal-hal penting yang terdapat dalam konflik tersebut.
3.1 Model Diagnosis Konflik Pandangan Kontinum dari Leonard Greenhalgh
Menurut Greenhalgh (1999:391), konflik bukanlah suatu fenomena yang obyektif dan nyata, tetapi ia ada dalam benak orang-orang yang terlibat dalam konflik tersebut. Karena itu untuk menangani konflik, seseorang perlu bersikap empati, yaitu memahami keadaan sebagaimana yang dilihat oleh para pelaku penting yang terlibat konflik. Unsur yang penting dalam manajemen konflik adalah persuasi, dan inilah bentuk penyelesaian konflik yang selalu ditekankan oleh Greenhalgh dalam model kontinumnya.
 Masalah-masalah yang dipertanyakan. Jika masalah yang menjadi sumber konflik adalah masalah prinsip, maka konflik sulit dipecahkan, karena mengrobankan prinsip dipandang sebagai mengorbankan integritas pribadi. Begitu masalah-masalah prinsip dikaitkan, pihak-pihak yang terlibat mencoba berargumentasi bahwa sudut pandang pihak lain salah. Jika hal sepeti ini terjadi, maka bentuk intervensi yang dapat dilakukan adalah meminta semua pihak untuk mengakui bahwa mereka memahami pandangan satu sama lain, walaupun masih percaya dengan pandangannya sendiri. Cara seperti ini lebih memungkinkan semua pihak untuk meju dalam proses negosiasi, daripada tetap pada posisi masing-masing.
Ukuran taruhan. Semakin besar nilai yang dipertaruhkan dalam perdebatan, semakin sulit konflik dipecahkan. Misalnya, kebijakan akuisisi yang oleh manajer dianggap membahayakan kedudukannya. Manajer yang berpikir subyektif akan memandang taruhannya cukup tinggi, karena itu akan berusaha mati-matian menentang proses akuisisi tersebut. Dalam kasus ini pendekatan persuasif dengan cara menunda penyelesaian, hingga semua pihak menjadi kurang emosianal, sangat baik untuk dilakukan. Selama masa penundaan tersebut masing-masing pihak dapat mengevaluasi kembali masalah yang dipertaruhkan dan berusaha untuk mencoba bersikap obyektif dalam penilaian mereka.
Saling ketergantungan pihak-pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu konflik dapat memandang diri mereka sendiri dalam suatu rangkaian saling ketergantungan “berjumlah nol” hingga “berjumlah positif”. Saling ketergantungan berjumlah nol adalah persepsi bahwa jika suatu pihak memperoleh sesuatu dari proses interaksi, maka hal tersebut berarti pengorbanan bagi pihak lain. Saling ketergantungan bernilai positif, jika kedua belah pihak sama-sama merasakan memperoleh keuntungan dari proses interaksi. Suatu hubungan berjumlah nol membuat konflik sulit dipecahkan karena hubungan ini memusatkan perhatian secara sempit pada perolehan pribadi, dan bukan pada perolehan kedua belah pihak melalui kerjasama dan pemecahan masalah. Jika hal yang demikian ini terjadi, maka kedua belah pihak harus dibujuk untuk mempertimbangkan bagaimana mereka dapat saling memperoleh manfaat dari suatu situasi.
Kontinuitas interaksi. Dimensi kontinuitas interaksi berhubungan dengan horizon waktu dimana semua pihak melihat diri mereka sendiri berhubungan satu sama lain. Jika mereka memvisualisasikan interaksi yang terjadi sebagai interaksi jangka panjang atau suatu hubungan yang terus menerus, maka konflik yang terjadi akan lebih mudah diselesaikan. Sebaliknya jika transaksi dipandang sebagai hubungan jangka pendek atau hubungan episodic, maka konflik tersebut akan sulit dipecahkan. Karena itu, pihak-pihak yang terlibat harus dibujuk agar mau menyadari bahwa hubungan mereka tidak berhenti di sini saja, atau pada saat konflik terjadi, tetapi akan ada hubungan lain yang terus menerus di masa yang akan datang.
Struktur pihak-pihak yang terlibat. Konflik lebih mudah dipecahkan jika suatu pihak mempunyai seorang pemimpin yang kuat yang dapat menyatukan pengikutnya untuk menerima dan melaksanakan kesepakatan. Jika kepemimpinannya lemah, maka sub-sub kelompok serikat pekerja yang paling merasa berkewajiban untuk mematuhi semua kesepakatan akan melakukan protes tanpa memperhatikan apa yang telah disepakati oleh pemimpin mereka, dan karena itu konflik sulit dipecahkan. Serikat pekerja yang dipimpin oleh pemimpin yang kuat mungkin menyulitkan dalam perundingan, tetapi begitu kesepakatan dicapai maka hasil perundingan tersebut dihormati oleh anggota serikat pekerja. Jika serikat pekerja yang dipimpin oleh pemimpin yang lemah terlibat dalam konflik, maka hasil yang telah disepakati mungkin akan dirusak oleh orang-orang dari dalam serikat pekerja tersebut, yang mungkin tidak menyukai sebagian isi kesepakatan. Hasilnya mungkin dapat berupa pertentangan yang kronis terhadap perubahan atau bahkan melakukan pemogokan.
Keterlibatan pihak ketiga. Orang-orang cenderung akan terlibat secara emosional dalam konflik. Keterlibatan yang demikian dapat menimbulkan beberapa pengaruh, antara lain: persepsi bias menjadi rusak, proses pemikiran dan argumentasi yang tidak rasional muncul, menghasilkan pendirian yang tidak beralasan, kemunikasi rusak, dan serangan-serangan terhadap pribadi muncul. Pengaruh-pengaruh seperti ini menyebabkan konflik menjadi sulit dipecahkan. Menghadapi situasi seperti ini peranan pihak ketiga yang netral sangat diperlukan. Pihak ketiga yang netral akan lebih bisa diterima oleh pihak-pihak yang terlibat, karena mereka lebih menyukai evaluasi pihak lain daripada dievaluasi pihak lawan. Semakin berwibawa, berkuasa, dipercaya, dan netral pihak ketiga, semakin besar kemungkinan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menahan emosi.
Peranan yang dimainkan oleh pihak ketiga dapat berwujud bermacam-macam bentuk, mulai dari wasit yang mengawasi komunikasi, sampai sebagai penghubung semua pihak, jika komunikasi langsung sulit dilakukan. Peranan penengah pada dasarnya adalahi menjaga agar semua pihak berinteraksi dalam cara yang beralasan dan konstruktif. Meskipun demikian, biasanya sebagian besar manajer enggan untuk mengundang pihak luar sebagai penengah, karena sangat sulit bagi mereka untuk mengakui secara terbuka bahwa mereka terlibat dalam konflik yangs edang terjadi. Jika para manajer tetap terlibat dalam penyelesaian konflik, maka kedudukan mereka lebih sebagai seorang arbiter, yang memutuskan sesuatu setelah mendengar laporan dari pihak -  pihak yang terlibat. Namun dalam kebanyakan konflik, peranan penengah lebih disukai, karena semua pihak dibantu untuk mencapai kesepakatan. Sedangkan arbitrasi lebih menyerupai proses pengadilan dimana semua pihak membuat alasan sebaik mungkin untuk mendukung posisi mereka. Hal ini cenderung untuk memperkuat perbedaan, dan bukannya menyatukan perbedaan yang ada.
Kemajuan konflik. Sulit mengatasi konflik jika semua pihak yang terlibat tidak siap untuk suatu rekonsiliasi. Jika masing-masing pihak merasa bahwa diri mereka paling dirugikan, maka konflik sulit dipecahkan. Karena itu, hal penting yang harus dilakukan adalah membujuk pihak - pihak yang terlibat agar menyadari bahwa mereka sama-sama menderita akibat konflik. Pihak-pihak yang terlibat harus dibawa pada “posisi yang sama”, sehingga mau secara sukarela berpartisipasi dalam penyelesaian konflik yang terjadi.

3.2 Lima Gaya Penanganan Konflik (Five Conflict-Handling Styles) dari Kreitner dan Kinicki
Model ini ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi. Dalam model ini digambarkan lima gaya penanganan konflik yang berbeda yang disajikan dalam bentuk tabel 2x2. Pada sumbu vertikal menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang lain (concern for others), dan pada sumbu horizontal menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu: integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.

 Integrating (Problem Solving). Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah.
Obliging (Smoothing). Sesuai dengan posisinya dalam gambar di atas, seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing (melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.
Dominating (Forcing). Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.
Avoiding. Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah - malasah yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
Compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak yang terlibat.Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.
Model-model di atas sudah barang tentu hanya merupakan sebagain saja dari banyak model yang dapat dipilih dalam manajemen konflik. Model apapun yang dipilih akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain: (1) latar belakang terjadinya konflik; (2) kategori pihak-pihak yang terlibat dalam konflik: apakah antar-individu, individu dengan kelompok, atau antar-kelompok dalam organisasi; (3) kompleksitas masalah yang akan dipecahkan; dan (4) kompleksitas organisasi.
Model - model Manajemen konflik akan bermuara pada  bagaimana mengusahakan agar konflik berada pada situasi optimal, sehingga konflik tersebut dapat mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya ketegangan, dan memprakarsai benih-benih untuk perubahan.
Robbins menjelaskan bahwa konflik itu baik bagi organisasi jika: (1) konflik merupakan suatu alat untuk menimbulkan perubahan; (2) konflik mempermudah terjadinya keterpaduan (cohesiveness) kelompok; (3) konflik dapat memperbaiki keefektifan kelompok dan organisasi; dan (4) konflik menimbulkan tingkat ketegangan yang sedikit lebih tinggi dan lebih konstruktif. Tingkat konflik yang tidak memadai (terlalu rendah) atau terlalu berlebihan (konflik tinggi) dapat merintangi keefektifan organisasi untuk mencapai kualitas pelayanan publik yang tinggi.
Kedua situasi ektrim ini dapat memunculkan sikap-sikap aparat yang apatis, absenteisme tinggi, bekerja seadanya, tidak empatik terhadap pengguna jasa, dan sebagainya; yang pada akhirnya akan memperendah kualitas pelayanan mereka kepada publik. Untuk itulah diperlukan suatu keahlian untuk mengelola konflik dari setiap pimpinan organisasi publik. Penggunaan berbagai teknik pemecahan dan motivasi untuk mencapai tingkat konflik yang diinginkan disebut sebagai manajemen konflik. 
4.1. Model Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Organisasi
1). Negosiasi
Negosiasi merupakan metode dalam proses penyelesaian sengketa yang bersifat non yudisial. Negosiasi merupakan hubungan tawar menawar di antara para pihak yang bersengketa dalam satu jalinan hubungan yang bersifat suka rela dan sementara untuk saling menjelaskan posisi,kebutuhan dan kepentingan masing-masing serta melakukan pertukaran sumber-sumber daya khusus atau perjanjian yang dapat menyelesaikan sebagian sengketa atau keseluruhan sengketa.
Negosiasi merupakan teknik penyelesaian sengketa yang paling tradisional dan paling sederhana. Teknik negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga, hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Perbedaan persepsi yang dimiliki oleh kedua belah pihak akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas inti persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan. Karena itu, dalam salah satu pihak bersikap menolak kemungkinan negosiasi sebagai salah satu cara penyelesaian akan mengalami jalan buntu.

2). Mediasi dan jasa-jasa baik (Mediation and good offices)
Mediasi merupakan bentuk lain dari negosiasi, sedangkan yang membedakannya adalah keterlibatan pihak ketiga. Pihak ketiga hanya bertindak sebagai pelaku mediasi (mediator), komunikasi bagi pihak ketiga disebut good offices. Seorang mediator merupakan pihak ketiga yang memiliki peran aktif untuk mencari solusi yang tepat guna melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai. Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh pihak yang bersengketa.
Perbedaan antara jasa-jasa baik dan mediasi adalah persoalan tingkat. Kasus jasa-jasa baik, pihak ketiga menawarkan jasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mengusulkan (dalam bentuk syarat umum) dilakukannya penyelesaian, tanpa secara nyata ikut serta dalam negosiasi-negosiasi atau melakukan suatu penyelidikan secara seksama atas beberapa aspek dari sengketa tersebut. Mediasi, sebaliknya pihak yang melakukan mediasi memiliki suatu peran yang lebih aktif dan ikut serta dalam negosiasi-negosiasi serta mengarahkan pihak-pihak yang bersengketa sedemikian rupa sehingga jalan penyelesaiannya dapat tercapai, meskipun usulan-usulan yang diajukannya tidak berlaku terhadap para pihak.
3). Konsiliasi (Conciliation)
Menurut the Institute of International Law melalui the Regulations the Procedur of International Conciliation yang diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 disebutkan sebagai suatu metode penyelesaian pertikaian bersifat internasional dalam suatu komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik sifatnya permanen atau sementara berkaitan dengan proses penyelesaian pertikaian. Istilah konsiliasi (conciliation) mempunyai arti yang luas dan sempit. Pengertian luas konsiliasi mencakup berbagai ragam metode di mana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasehat yang tidak berpihak. Pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa kepada sebuah komite untuk membuat laporan beserta usul-usul kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut.
Menurut Shaw, laporan dari konsiliasi hanya sebagai proposal atau permintaan dan bukan merupakan konstitusi yang sifatnya mengikat. Proses konsiliasi pada umumnya diberikan kepada sebuah komisi yang terdiri dari beberapa orang anggota, tapi terdapat juga yang hanya dilakukan oleh seorang konsiliator.
4). Penyelidikan (Inquiry)
Metode penyelidikan digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan cara mendirikan sebuah komisi atau badan untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang bersifat internasional, yang relevan dengan permasalahan. Dengan dasar bukti-bukti dan permasalahan yang timbul, badan ini akan dapat mengeluarkan sebuah fakta yang disertai dengan penyelesaiannya. Tujuan dari penyelidikan ini adalah membuat rekomendasi-rekomendasi yang spesifik untuk menetapkan fakta yang mungkin diselesaikan dengan cara memperlancar suatu penyelesaian yang dirundingkan.
5. KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan diatas, penulis menyimpulkan bahwa sering kita temukan dalam setiap organisasi tentang adanya sikap pro dan kontra dalam memandang konflik. Ada pimpinan yang memandang sengketa/ konflik secara negatif dan mencoba untuk menghilangkan segala jenis konflik yang ada. Para pimpinan ini bersikeras bahwa konflik akan memecah-belah organisasi dan menghambat terciptanya kinerja yang optimal. Konflik memberikan indikasi tentang adanya suatu ketidakberesan dalam organisasi, dan adanya prinsip-prinsip atau aturanaturan yang tidak dilaksanakan dengan baik.
Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen (subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung (interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini juga di perjelas dalam Dalam Undang-undang No.30 tahun 1999 penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan cara pertemuan langsung oleh para pihak( negosiasi) diberikan kerangka waktu paling lama 14 hari dan hasilkan dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis (perjanjian damai) Pasal 6 ayat (2).
SARAN
Disadari bahwa memang masih jauh dari kesempurnaan terkait dengan penulisan dan penjelasan tentang bab diatas, oleh karenanya, saya mengharap bagi para pembaca, khsusnya dosen kami “ ibu ela” dapat memberi masukan yang berarti, guna unuk memperbaiki kualiatas penulisan berikutnya. Untuk saran dan kriikan dapat melalui email saya di (sofyanamarta@gmail.com).

0 komentar:



Bab 16: Negosiasi lebih Sengketa Hukum:
Melindungi Organisasi Anda
Oleh : Sofyan Amarta *
(kajian ini fokus pada negosiasi dalam melindungi organisasi anda)
I. PENGANTAR
           
Zaman berubah dengan pesat. Semua bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, mengalami kemajuan (advancement) yang signifikan. Globalisasi di era post-modern dan kemajuan teknologi informasi (informatics technology) ternyata sangat berpengaruh bagi masyarakat, baik secara pribadi (personal), maupun dalam soal dinamika kelompok.
Seiring dengan progresivitas tersebut, konflik pun tetap omnipresent. Artinya, konflik ada di mana saja, kapanpun waktunya, siapapun kita. Dalam organisasi apapun dimana kita terlibat di dalamnya, pasti bakal berhadapan dengan konflik. Semakin besar organisasi, semakin rumit pula keadaannya. Semua aspek, akan mengalami kompleksitas, baik alur informasi, pengambilan keputusan, pendelegasian wewenang, sumberdaya manusia dan sebagainya.
Dalam interaksi sesama manusia, konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik
Dari aspek sumber daya manusia (SDM) misalnya, dapat diidentifikasi berbagai kompleksitas. Contohnya, kompleksitas jabatan, kompleksitas tugas, kompleksitas tanggung jawab, kompleksitas kedudukan, kompleksitas status, kompleksitas hak, kompleksitas wewenang dan lain-lain. Kompleksitas ini dapat merupakan sumber potensial terjadinya konflik. Sebab, setiap manusia yang terlibat dalam organisasi, memiliki keunikan sendiri-sendiri, berbeda latar belakang, berbeda karakter, berbeda visi, berbeda tujuan hidup, berbeda motivasi kerja dan lain-lain.
 Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen (subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung (interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem yang saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial (managerial subsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan subsistem struktur (structural subsystem).
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar - belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.
Namun, sabagaimana dikatakan oleh Gibson, et al. (1997:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi  tersebut. Konflik tersebut mungkin tidak membawa “kamatian” bagi organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi.
2. 1 Definisi Konflik
Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen. Hal ini tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara maknamakna yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai, tujuan, status, dan budaya. Definisi di bawah ini menunjukkan perbedaan-perbedaan dimaksud.
… the condition of objective incompatibility between values or goals, as the bahavior of deliberately interfering with another’s goal achievement, and emotional in terms of hostility (Luthans, 1985:386). (... Kondisi obyektif ketidakcocokan antara nilai-nilai atau tujuan, sebagai bahavior sengaja mengganggu pencapaian tujuan lain, dan emosional dalam hal permusuhan (Luthans, 1985:386).)
A process in which an effort is purposely made by A to offset the efforts of B by some form of blocking that will result in frustrating B in attaining his or her goals or furthering his or her interests (Robbins, 1996:428). (Sebuah proses di mana upaya sengaja dibuat oleh A untuk mengimbangi upaya B dengan beberapa bentuk blocking yang akan menghasilkan B frustasi dalam mencapai tujuan nya atau dia atau memajukan kepentingan-nya (Robbins, 1996:428).)
… disagreement between individuals or groups within the organization stemming from the need to share scarce resources or engage in interdependent work activities, or from differences in status, goals, or cultures (Stoner dan Freeman, 1989:391).2 (... Ketidaksepakatan antara individu atau kelompok dalam organisasi yang berasal dari kebutuhan untuk berbagi sumber daya yang langka atau terlibat dalam aktivitas kerja saling bergantung, atau dari perbedaan status, tujuan, atau budaya (Stoner Dan Freeman, 1989:391) .2)
All kinds of opposition or antagonistic interaction. It based on scarcity of power, resources or social position, and differing value systems (Kreitner dan Kinicki, 1995:283). (Semua jenis oposisi atau interaksi antagonis. Ini didasarkan pada kelangkaan kekuasaan, sumber daya atau posisi sosial, dan sistem nilai yang berbeda (Kreitner Dan Kinicki, 1995:283).)
Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik merupakan suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat.
Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut Robbin (1996), ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka konflik tersebut menjadi suatu kenyataan.
2.2 Pandangan Terhadap Konflik
Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok atau organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi. Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik dikelola sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi kelompok dan organisasi.  Stoner dan Freeman menyebut konflik tersebut sebagai konflik organisasional (organizational conflict).
Pertentangan pendapat ini oleh Robbins (1996:431) disebut sebagai the Conflict Paradox, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, namun di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisir konflik.Dalam uraian di bawah ini disajikan beberapa pandangan tentang konflik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins (1996:429).
a.       Pandangan Tradisional (The Traditional View).
Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
b.      Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View).
Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima  dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Pandangan ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an.

c.       Pandangan Interaksionis (The Interactionist View).
Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat  minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif. Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan tentang konflik menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan modern (current view).
Perbedaan kedua pandangan tersebut disajikan dalam Tabel 1.1. Dalam tabel tersebut, kedua cara pandang: tradisional dan modern, dibedakan dalam lima aspek, yaitu: cara pandang terhadap konflik, faktor penyebab timbulnya konflik, pengaruh konflik terhadap kinerja, fungsi manajemen, dan bagaimana perlakuan terhadap konflik untuk mencapai kinerja optimal

2.3 Jenis-jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan sebagainya.
a. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik menjadi dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebutdikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional.
 b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan Freeman (1989:393) membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
1) Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
2) Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang satu dengan individu yang lain.
3) Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma - norma kelompok tempat ia bekerja.
4) Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masing - masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5) Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
6) Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
c. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat macam, dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut:
1) Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
2) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4) Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di samping klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain, misalnya yang dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1982), yang membagi konflik atas: substantive conflict, emotional conflict, constructive conflict, dan destructive conflict.
II. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA KONFLIK
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar - belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan  terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.

Robbins (1996), menggambarkan tahap-tahap lahirnya konflik, sebagaimana yang diterangkan di atas, melalui gambar sebagaimana yang disajikan di bawah ini (gambar 1).
Proses timbulnya konflik, sebagaimana yang digambarkan oleh Robbins, mirip dengan tahap-tahap konflik yang digambarkan oleh Schermerhorn, et al. (1982:461), seperti yang disajikan di bawah ini (gambar 2)
Berbeda dengan Robbins yang hanya menyebut tiga factor dalam antecedent conditions, Schermerhorn, et al. merinci antecedent conditions menjadi lima faktor, yaitu: (1) ketidakjelasan peranan atau peranan yang mendua (role ambiguities); (2) persaingan untuk mendapatkan sumberdaya yang terbatas; (3) rintangan-rintangan dalam komunikasi (communication barriers); (4) konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan; dan (5) perbedaan-perbedaan individual, yang mencakup: perbedaan kebutuhan, nilai-nilai, dan perbedaan tujuan.
Gambar 1: Proses Lahirnya Konflik
Gambar 2: Tahap-tahap Konflik
Selanjutnya, Kreitner dan Kinicki (1995:284-285) merinci lagi antecedent conditions itu menjadi 12 faktor sebagai berikut:
                        1.      ketidakcocokan kepribadian atau sistem nilai;
                        2.      batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih;
                        3.      persaingan untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas;
                        4.      pertukaran informasi atau komunikasi yang tidak cukup (inadequate communication);
                        5.      kesalingtergantungan dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain);
                        6.      kompleksitas organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan dengan semakin meningkatnya susunan hierarki dan spesialisasi pekerjaan);
                        7.      peraturan-peratuan, standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas atau tidak masuk akal;
                        8.      batas waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga sulit dipenuhi (unreasonable deadlines);
                        9.      pengambilan keputusan secara kolektif (semakin banyak orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, semakin potensial untuk konflik);
                    10.      pengambilan keputusan melalui konsensus;
                    11.      harapan-harapan yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki harapan yang tidak realistik terhadap pekerjaan, upah, atau promosi, akan lebih mudah untuk konflik);
                    12.      tidak menyelesaikan atau menyembunyikan konflik.
Menurut Kreitner dan Kinicki (1995), manajer atau pimpinan organisasi harus proaktif untuk mengidentifikasikan keberadaan kondisi - kondisi tersebut dalam organisasinya, dan jika salah satu atau lebih dari kondisi itu muncul, maka ia harus segera mengambil tindakan, sebelum kondisi itu menjadi konflik terbuka atau konflik yang nyata (manifest conflict). Dengan cara seperti ini, diharapkan konflik tidak meluas ke seluruh organisasi dan akhirnya mempengaruhi kinerja karyawan. Untuk itulah maka manajer harus memiliki kemampuan untuk mengelola konflik, sehingga konflik tidak menjadi faktor yang mengancam keberlangsungan hidup organisasi, tetapi menjadi faktor yang fungsional untuk meningkatkan kinerja organisasi.

NEGOSIASI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA HUKUM



Bab 16: Negosiasi lebih Sengketa Hukum:
Melindungi Organisasi Anda
Oleh : Sofyan Amarta *
(kajian ini fokus pada negosiasi dalam melindungi organisasi anda)
I. PENGANTAR
           
Zaman berubah dengan pesat. Semua bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, mengalami kemajuan (advancement) yang signifikan. Globalisasi di era post-modern dan kemajuan teknologi informasi (informatics technology) ternyata sangat berpengaruh bagi masyarakat, baik secara pribadi (personal), maupun dalam soal dinamika kelompok.
Seiring dengan progresivitas tersebut, konflik pun tetap omnipresent. Artinya, konflik ada di mana saja, kapanpun waktunya, siapapun kita. Dalam organisasi apapun dimana kita terlibat di dalamnya, pasti bakal berhadapan dengan konflik. Semakin besar organisasi, semakin rumit pula keadaannya. Semua aspek, akan mengalami kompleksitas, baik alur informasi, pengambilan keputusan, pendelegasian wewenang, sumberdaya manusia dan sebagainya.
Dalam interaksi sesama manusia, konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik
Dari aspek sumber daya manusia (SDM) misalnya, dapat diidentifikasi berbagai kompleksitas. Contohnya, kompleksitas jabatan, kompleksitas tugas, kompleksitas tanggung jawab, kompleksitas kedudukan, kompleksitas status, kompleksitas hak, kompleksitas wewenang dan lain-lain. Kompleksitas ini dapat merupakan sumber potensial terjadinya konflik. Sebab, setiap manusia yang terlibat dalam organisasi, memiliki keunikan sendiri-sendiri, berbeda latar belakang, berbeda karakter, berbeda visi, berbeda tujuan hidup, berbeda motivasi kerja dan lain-lain.
 Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen (subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung (interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem yang saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial (managerial subsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan subsistem struktur (structural subsystem).
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar - belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.
Namun, sabagaimana dikatakan oleh Gibson, et al. (1997:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi  tersebut. Konflik tersebut mungkin tidak membawa “kamatian” bagi organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi.
2. 1 Definisi Konflik
Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen. Hal ini tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara maknamakna yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai, tujuan, status, dan budaya. Definisi di bawah ini menunjukkan perbedaan-perbedaan dimaksud.
… the condition of objective incompatibility between values or goals, as the bahavior of deliberately interfering with another’s goal achievement, and emotional in terms of hostility (Luthans, 1985:386). (... Kondisi obyektif ketidakcocokan antara nilai-nilai atau tujuan, sebagai bahavior sengaja mengganggu pencapaian tujuan lain, dan emosional dalam hal permusuhan (Luthans, 1985:386).)
A process in which an effort is purposely made by A to offset the efforts of B by some form of blocking that will result in frustrating B in attaining his or her goals or furthering his or her interests (Robbins, 1996:428). (Sebuah proses di mana upaya sengaja dibuat oleh A untuk mengimbangi upaya B dengan beberapa bentuk blocking yang akan menghasilkan B frustasi dalam mencapai tujuan nya atau dia atau memajukan kepentingan-nya (Robbins, 1996:428).)
… disagreement between individuals or groups within the organization stemming from the need to share scarce resources or engage in interdependent work activities, or from differences in status, goals, or cultures (Stoner dan Freeman, 1989:391).2 (... Ketidaksepakatan antara individu atau kelompok dalam organisasi yang berasal dari kebutuhan untuk berbagi sumber daya yang langka atau terlibat dalam aktivitas kerja saling bergantung, atau dari perbedaan status, tujuan, atau budaya (Stoner Dan Freeman, 1989:391) .2)
All kinds of opposition or antagonistic interaction. It based on scarcity of power, resources or social position, and differing value systems (Kreitner dan Kinicki, 1995:283). (Semua jenis oposisi atau interaksi antagonis. Ini didasarkan pada kelangkaan kekuasaan, sumber daya atau posisi sosial, dan sistem nilai yang berbeda (Kreitner Dan Kinicki, 1995:283).)
Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik merupakan suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat.
Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut Robbin (1996), ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka konflik tersebut menjadi suatu kenyataan.
2.2 Pandangan Terhadap Konflik
Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok atau organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi. Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik dikelola sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi kelompok dan organisasi.  Stoner dan Freeman menyebut konflik tersebut sebagai konflik organisasional (organizational conflict).
Pertentangan pendapat ini oleh Robbins (1996:431) disebut sebagai the Conflict Paradox, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, namun di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisir konflik.Dalam uraian di bawah ini disajikan beberapa pandangan tentang konflik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins (1996:429).
a.       Pandangan Tradisional (The Traditional View).
Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
b.      Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View).
Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima  dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Pandangan ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an.

c.       Pandangan Interaksionis (The Interactionist View).
Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat  minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif. Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan tentang konflik menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan modern (current view).
Perbedaan kedua pandangan tersebut disajikan dalam Tabel 1.1. Dalam tabel tersebut, kedua cara pandang: tradisional dan modern, dibedakan dalam lima aspek, yaitu: cara pandang terhadap konflik, faktor penyebab timbulnya konflik, pengaruh konflik terhadap kinerja, fungsi manajemen, dan bagaimana perlakuan terhadap konflik untuk mencapai kinerja optimal

2.3 Jenis-jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan sebagainya.
a. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik menjadi dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebutdikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional.
 b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan Freeman (1989:393) membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
1) Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
2) Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang satu dengan individu yang lain.
3) Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma - norma kelompok tempat ia bekerja.
4) Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masing - masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5) Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
6) Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
c. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat macam, dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut:
1) Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
2) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4) Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di samping klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain, misalnya yang dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1982), yang membagi konflik atas: substantive conflict, emotional conflict, constructive conflict, dan destructive conflict.
II. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA KONFLIK
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar - belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan  terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.

Robbins (1996), menggambarkan tahap-tahap lahirnya konflik, sebagaimana yang diterangkan di atas, melalui gambar sebagaimana yang disajikan di bawah ini (gambar 1).
Proses timbulnya konflik, sebagaimana yang digambarkan oleh Robbins, mirip dengan tahap-tahap konflik yang digambarkan oleh Schermerhorn, et al. (1982:461), seperti yang disajikan di bawah ini (gambar 2)
Berbeda dengan Robbins yang hanya menyebut tiga factor dalam antecedent conditions, Schermerhorn, et al. merinci antecedent conditions menjadi lima faktor, yaitu: (1) ketidakjelasan peranan atau peranan yang mendua (role ambiguities); (2) persaingan untuk mendapatkan sumberdaya yang terbatas; (3) rintangan-rintangan dalam komunikasi (communication barriers); (4) konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan; dan (5) perbedaan-perbedaan individual, yang mencakup: perbedaan kebutuhan, nilai-nilai, dan perbedaan tujuan.
Gambar 1: Proses Lahirnya Konflik
Gambar 2: Tahap-tahap Konflik
Selanjutnya, Kreitner dan Kinicki (1995:284-285) merinci lagi antecedent conditions itu menjadi 12 faktor sebagai berikut:
                        1.      ketidakcocokan kepribadian atau sistem nilai;
                        2.      batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih;
                        3.      persaingan untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas;
                        4.      pertukaran informasi atau komunikasi yang tidak cukup (inadequate communication);
                        5.      kesalingtergantungan dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain);
                        6.      kompleksitas organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan dengan semakin meningkatnya susunan hierarki dan spesialisasi pekerjaan);
                        7.      peraturan-peratuan, standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas atau tidak masuk akal;
                        8.      batas waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga sulit dipenuhi (unreasonable deadlines);
                        9.      pengambilan keputusan secara kolektif (semakin banyak orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, semakin potensial untuk konflik);
                    10.      pengambilan keputusan melalui konsensus;
                    11.      harapan-harapan yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki harapan yang tidak realistik terhadap pekerjaan, upah, atau promosi, akan lebih mudah untuk konflik);
                    12.      tidak menyelesaikan atau menyembunyikan konflik.
Menurut Kreitner dan Kinicki (1995), manajer atau pimpinan organisasi harus proaktif untuk mengidentifikasikan keberadaan kondisi - kondisi tersebut dalam organisasinya, dan jika salah satu atau lebih dari kondisi itu muncul, maka ia harus segera mengambil tindakan, sebelum kondisi itu menjadi konflik terbuka atau konflik yang nyata (manifest conflict). Dengan cara seperti ini, diharapkan konflik tidak meluas ke seluruh organisasi dan akhirnya mempengaruhi kinerja karyawan. Untuk itulah maka manajer harus memiliki kemampuan untuk mengelola konflik, sehingga konflik tidak menjadi faktor yang mengancam keberlangsungan hidup organisasi, tetapi menjadi faktor yang fungsional untuk meningkatkan kinerja organisasi.

0 komentar:

back to top